Feneomena Quiet Quitting, Apa Dampaknya pada Pekerjaan?

Ketahui apa itu quiet quitting, serta dampaknya pada perusahaan dan karyawan

fenomena quiet quitting

Daftar Isi

Dari waktu ke waktu, pola kerja para karyawan juga mengalami banyak perubahan dalam berbagai level. Fenomena quiet quitting adalah salah satu tren yang sempat viral di media sosial, khususnya TikTok dan Twitter sejak pertengahan Agustus 2022.

Apa yang dimaksud dengan fenomena quiet quitting? Lalu, bagaimana dampaknya bagi karyawan dan perusahaan?

Saat mendengar istilah ini pertama kali, tidak sedikit orang yang mungkin langsung terbayang tentang upaya karyawan untuk mengundurkan diri atau resign dari perusahaan.

Kenyataannya, ini adalah tren yang muncul sejak pandemi ketika para pekerja di dunia benar-benar berusaha keras dalam pekerjaannya.

Didorong oleh banyak faktor mendasar, quiet quitting tidak selalu berarti dorongan untuk resign pelan-pelan dengan mengurangi keterlibatannya pada pekerjaan.

Sementara itu, dari pihak pengusaha atau pemberi kerja juga memiliki tantangan untuk menjaga karyawan sebagai timnya agar tetap memberikan performa terbaik. Untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap, simak ulasan berikut ini.

Pengertian Fenomena Quiet Quitting

Dirangkum dari berbagai sumber seperti Bloomberg dan Harvard Business Review, fenomena quiet quitting awalnya populer di kalangan pekerja millenial dan generasi Z di Amerika Serikat yang kemudian menjadi tren di berbagai negara.

Ini adalah ketika Anda tidak benar-benar keluar dari pekerjaan, tapi keluar dari pola pikir bahwa Anda harus selalu serius dan ambisius.

Anda masih melakukan pekerjaan harian tapi tidak terbebani karena hustle culture, mengingat banyak hal lain yang harus Anda selesaikan di luar jam kerja. Para quiet quitters tidak memaksa diri untuk selalu berusaha mendapatkan promosi atau mendapatkan peningkatan gaji.

Bahkan, tren ini menarasikan bahwa nilai diri Anda tidak selalu ditentukan oleh produktivitas. Secara praktis, karyawan bisa menolak pekerjaan tambahan, menghindari lembur, dan tidak perlu bekerja pada saat jam kerja berakhir, termasuk akhir pekan.

Quiet quitting

Mengapa Tren Quiet Quitting Bisa Muncul?

Setiap tren memiliki momen tersendiri, di mana banyak orang membicarakannya. Khususnya para pengguna media sosial, merekalah yang menjadikan sesuatu semakin dikenal luas.

Dalam hal ini, fenomena quiet quitting yang populer di kalangan pengguna media sosial, karena karyawan merasa waktu dan tenaga mereka belum sepenuhnya dihargai oleh perusahaan.

- Masalah Jam Kerja

Pada mulanya, profesional muda di Amerika menyuarakan aspirasinya tentang jam kerja yang lebih seimbang. Beberapa alasannya adalah faktor kesehatan, work life balance, dan koneksi sosial.

Bukan hanya di Amerika, tapi di negara-negara Asia pun banyak yang mulai mempertanyakan pola kerja yang dijalani selama ini.

Contohnya di Jepang, ada konsep yang disebut shokunin, yang mengacu pada seorang seniman yang sangat berdedikasi pada karya mereka, selalu berusaha untuk menyempurnakan apa yang mereka buat.

Sementara itu, di negara China ada istilah 996 yang menunjukkan jam kerja yang padat dan melelahkan, khususnya di banyak perusahaan teknologi.

Sistem kerja 996 artinya karyawan bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam, selama enam hari dalam seminggu. Memang belakangan jam kerja ekstrem seperti itu menerima kritikan dari banyak pihak.

Di sisi lain, pekerja di berbagai industri memiliki pandangan berbeda tentang jenjang karier. Mereka pun menginginkan jam kerja lebih fleksibel yang tidak hanya melihat seberapa lama jam kerja.

- Kurangnya Apresiasi

Menurut McKinsey, faktor kurangnya apresiasi memiliki pengaruh besar dalam pekerjaan dan bisa jadi penyebab untuk meninggalkan pekerjaan.

Apresiasi di sini adalah tentang perlakuan atasan atau manajer yang tidak memperhatikan keadaan tim (uncaring leaders), beban kerja yang tidak lagi memberi makna (meaningless work), dan tidak ada fleksibilitas. Alasan lain yang realistis adalah tentang upah atau gaji yang tidak sesuai.

- Karyawan Menginginkan Perubahan

Alasan lain yang menjadi penyebab munculnya fenomena quiet quitting adalah ketika karyawan menginginkan perubahan. Khususnya dari pola kerja lama ke pola kerja baru yang lebih relevan.

Model kerja hibrid (hybrid working), yaitu kombinasi kerja online dan offline juga dianggap relevan untuk momen pasca pandemi. Pada intinya, tren quiet quitting adalah sebuah perubahan cara pandang pekerja muda terhadap beban kerja.

Apapun alasannya, hal ini sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Sebagian orang sudah menjalaninya, tapi menyadari adanya istilah tersebut. Dampaknya pun bukan hanya berlaku pada perusahaan, tapi karyawan itu sendiri.

Apa Dampak dari Fenomena Quiet Quitting?

Terlepas dari istilahnya yang tergolong baru, sebenarnya aksi yang dilakukan sudah banyak dilakukan sejak tahun-tahun sebelumnya. Lalu, apa saja dampaknya untuk perusahaan dan karyawan?

- Dampak untuk Perusahaan

Apakah quiet quitting berdampak pada perusahaan? Menurut laporan State of the Global Workplace Gallup 2022, karyawan yang bertindak atas ketidakpuasan mereka dengan tidak terlibat di tempat kerja merugikan ekonomi global sebesar US$7,8 triliun dalam hilangnya produktivitas.

Apalagi jika mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, tingkat produktivitas menjadi perhatian serius bagi pengusaha. Menanggapi penurunan produktivitas secara keseluruhan, perusahaan seperti Google memberi sinyal bahwa PHK sudah dekat.

PHK ini merugikan baik pekerja maupun pengusaha dengan biaya memberhentikan satu karyawan sebesar 200 persen dari gaji karyawan.

- Dampak untuk Karyawan

Quiet quitters yang sengaja mengurangi beban kerja di kantor dapat menyebabkan keretakan antara karyawan. Hal ini pada gilirannya akan memicu budaya tempat kerja toxic yang selanjutnya dapat memperburuk ketidakpuasan karyawan.

Selain itu, menurut psikolog organisasi Ben Granger, bertahan dalam pekerjaan dan bekerja seminimal mungkin bisa berarti melepaskan prospek untuk pindah ke pekerjaan yang lebih baik dan lebih memuaskan.

Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan jika yang terjadi kemudian adalah keputusan PHK dari perusahaan.

Di samping itu, orang yang melakukan quiet quitting ini sebenarnya mempertaruhkan prospek masa depan mereka sendiri. Apalagi dengan berbagai efisiensi SDM, karyawan yang berkinerja buruk memiliki reputasi negatif yang akan mempengaruhi selama sisa karir mereka.

quiet quitting

Apakah Fenomena Ini Berdampak di Indonesia?

Berdasarkan penjelasan tentang tren quiet quitting yang di Amerika dan menjadi tren di kalangan pekerja muda di dunia, apakah fenomena ini juga benar-benar berdampak di Indonesia?

Merujuk pada riset McKinsey, mereka yang berhenti diri dari pekerjaannya sebagai pilihan hidup berasal dari negara-negara yang memiliki tingkat kesejahteraan atau pendapatan tinggi. Bahkan memiliki pendapatan pasif untuk sekian tahun.

Dilansir Kompas.id, hal ini tidak berlaku di Indonesia yang belum sampai kondisi tersebut, karena para pekerja di Indonesia masih membutuhkan pekerjaan formal atau nonformal, dan masih aktif bekerja mencapai kesejahteraan.

Kesimpulan

Quiet quitting bukan berarti keluar secara diam-diam dari pekerjaan. Tapi, ini adalah tren yang muncul sebagai respons budaya kerja yang kurang memberi apresiasi.

Awalnya fenomena ini muncul di kalangan pekerja muda di Amerika, kemudian menjadi populer di dunia dalam waktu cepat melalui media sosial.

Tentunya hal ini memberi dampak kepada perusahaan maupun karyawan sendiri. Meskipun pada praktiknya ini bukan hal yang benar-benar baru dan tidak berpengaruh dengan cara yang sama untuk pekerja di semua negara, termasuk Indonesia.

Tren di dunia kerja memang selalu berubah, yang terpenting Anda cepat beradaptasi untuk menghadapi perubahan dengan langkah yang terbaik.

Aplikasi Kerjoo sebagai perusahaan teknologi juga berkomitmen untuk terus menyediakan layanan yang terbaik. Setiap fiturnya akan terus kami perbarui dengan inovasi yang sesuai kebutuhan pengguna.

bg ads

Aplikasi Absensi Online

Gratis Trial 14 Hari