Beyond THR: Tren "Quiet Quitting" dan Dampaknya pada Produktivitas Karyawan
Quiet quitting sulit sekali dikenali. Karyawan tetap datang tepat waktu dan menyelesaikan tugas dengan tanggung jawab penuh.

Daftar Isi
Quiet Quitting
Selain gelombang pengunduran diri - The Great Resignation, fenomena quiet quitting tidak kalah mengkhawatirkaan bagi HR.
Berbeda dengan resign yang eksplisit, tanda quiet quitting sulit sekali dikenali. Karyawan tetap datang tepat waktu dan menyelesaikan tugas dengan tanggung jawab penuh.
Hanya saja, dalam diri mereka ada perasaan tidak lagi antusias, tidak ingin inisiatif, dan tidak ingin terhubung secara emosional dengan pekerjaan ataupun tim.
Survei terbaru Gallup di tahun 2024 bahkan menyatakan, hanya 10% pekerja yang merasa terlibat dengan pekerjaan mereka. Sementara 90% lainnya tidak.
Mengapa karyawan melakukan ini? Atau tidak langsung mengundurkan diri saja supaya Anda tidak kewalahan mencari pengganti?

Masih dari sumber yang sama, Gallup menyatakan quiet quitting disebabkan oleh faktor ekonomi, di mana pekerja merasa terjebak denan pekerjaan yang tidak sukai karena ingin terjamin secara finansial.
Mereka juga pesimis dengan minimnya kesempatan kerja diluar semenjak pandemi atau pertengahan tahun 2021. Mau tidak mau, pekerja menerima pekerjaan diluar keinginan mereka.
"Tapi kan? Bukannya tidak masalah? Mereka hadir dan menyelesaikan pekerjaannya? "
Nah, tanpa disadari, quiet quitting ini memberikan efek domino bagi tim, khususnya produktivitas yang akan berkurang sedikit demi sedikit.
Aplikasi absensi online Kerjoo akan membantu Anda untuk memahami apa sebenarnya fenomena ini, mengapa terjadi, dan apa langkah nyata yang bisa dilakukan sebelum semuanya terlambat.
Baca Juga: 5 Cara HR Menjaga Loyalitas Karyawan Tanpa Harus Naikkan Gaji
Apa Itu "Quiet Quitting" dan Mengapa Tren Ini Meningkat?
Quiet quitting bukan berarti karyawan benar-benar berhenti kerja, atau mengundurkan diri langsung dari pekerjaan. Mereka tetap hadir, tetap menyelesaikan tugas pokok, tapi tidak lagi “hadir sepenuhnya.”
Seperti yang Kerjoo sampaikan sebelumnya, karyawan secara sadar membatasi kontribusi hanya pada apa yang tertulis dalam kontrak kerja—tanpa tambahan, tanpa inisiatif, dan tanpa semangat lebih.
Fenomena ini makin terasa akhir-akhir ini, terutama di kalangan Gen Milenial dan Gen Z, utau karyawan yang berusia kurang dari 35 tahun.
Gallup mencatat, penurunan employee engagement terjadi karena karyawan mulai sadar akan pentingnya peluang untuk berkembang, perasaan kurang diperhatikan, dan tidak ada kejelasan tujuan perusahaan.
Tanda quiet quitting akan mulai terlihat ketika karyawan merasa: apakah bekerja di perusahaan ini akan membuatku memiliki peluang untuk berkembang?
Tidak berhenti pada kejelasan karier, quiet quitting juga terjadi karena beberapa hal, seperti:
- Burnout yang berkepanjangan, tanpa solusi nyata dari perusahaan.
- Minimnya apresiasi atau pengakuan, bahkan untuk inisiatif ekstra.
- Work-life balance yang terganggu, hingga kehidupan pribadi ikut terdampak.
- Kurangnya kejelasan jalur karier atau kesempatan untuk berkembang.
- Budaya kerja yang menekan, bukan mendukung.
Oleh karena itu, fenomena ini sebenarnya tidak hanya menyangkut masalah personal karyawan, tetapi tanda adanya ketimpangan hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan.
Tanda-Tanda Karyawan yang Mengalami "Quiet Quitting"

Tanda quiet quitting memang tidak selalu kentara. Tapi jika HR memperhatikan, ada beberapa pola yang bisa menjadi alarm, seperti:
- Menurunnya partisipasi dalam diskusi tim atau proyek tambahan
- Tidak lagi antusias terhadap ide-ide baru atau perubahan
- Enggan menerima tugas tambahan atau lembur, meski dulu pernah bersedia
- Komunikasi menjadi minimal dan sangat formal, nyaris tanpa emosi
- Kreativitas menurun, bahkan pekerjaan rutin terasa dilakukan tanpa energi
Namun, penting juga untuk membedakan antara quiet quitting dan kondisi personal sementara seperti kelelahan fisik, stres karena urusan keluarga, atau fase burnout ringan.
Jangan sampai kita menarik kesimpulan terlalu cepat.
Aplikasi absensi online Kerjoo dapat membantu Anda mendeteksi tanda quiet quitting yang secara tidak langsung ditunjukkan karyawan melalui performa kehadiran.
Performa kehadiran di aplikasi Kerjoo dapat menampilkan grafik kehadiran karyawan dan mengetahui pola kerja mereka dalam kurun waktu tertentu.
Apabila ada perubahan pola, misalnya penurunan performa kehadiran, Anda dapat mengenali dan menyusun strategi untuk mencegah karyawan melakukan quiet quitting.
Dengan demikian, Anda dapat menjaga produktivitas karyawan dalam tim dan membuatnya merasa lebih 'engage,' baik dengan pekerjaan ataupun perusahaannya.
Jangan sampai Anda baru melewatkan tanda quiet quitting karena mengabaikannya, apa saja dampaknya?
Dampak "Quiet Quitting" terhadap Produktivitas dan Kinerja Tim
Banyak perusahaan yang terlambat menyadari bahwa quiet quitting membawa efek domino ke dalam organisasi.
Di bawah ini adalah beberapa dampaknya:
- Kualitas output menurun, karena tak ada lagi semangat untuk memberikan hasil terbaik
- Kontribusi dalam tim jadi timpang, beban kerja akhirnya menumpuk di orang-orang yang masih engaged
- Moral tim ikut turun, karena lingkungan kerja terasa datar dan kurang inspiratif
- Target kolektif tim sulit tercapai, karena semangat kebersamaan dan ownership melemah
- Turnover meningkat, terutama jika budaya kerja tidak segera dibenahi
Apakah perusahaan bisa terus tumbuh kalau kondisi ini dibiarkan?
Tentunya- HR perlu bertanya pada diri sendiri—apa yang lebih mahal: mempertahankan engagement atau kehilangan karyawan terbaik secara diam-diam?
Baca Juga: Cara HR Meningkatkan Employee Engagement Agar Karyawan Tidak Resign Pasca-THR
Strategi HR untuk Mengatasi "Quiet Quitting" dan Meningkatkan Employee Engagement

Untungnya, quiet quitting bukan akhir segalanya.
Fenomena ini bisa menjadi titik awal untuk evaluasi internal yang lebih sehat. Sebagai HR, Anda dapat melakukan beberapa strategi, seperti:
1) Membangun Budaya Apresiasi yang Konsisten
Apresiasi itu sederhana, tapi berdampak besar bagi employee engagement karyawan.
Tidak perlu mahal, Anda dapat memberikan apresiasi dari ucapan terima kasih, penghargaan mingguan, hingga insentif.
Hal-hal kecil ini dapat mempengaruhi loyalitas karyawan bahkan tanpa Anda menaikkan gaji mereka.
2) Lakukan Survei Keterlibatan Karyawan Secara Rutin
Survei keterlibatan itu perlu, supaya Anda tidak menebak-nebak bagaimana situasi di perusahaan.
Survei engagement bisa menjadi dasar untuk mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan karyawan, bagaimana pendapat karyawan mengenai perusahaan dan bagian mana perusahaan perlu memperbaiki diri.
3) Fasilitasi Work-Life Balance
Quiet quitting sering kali ditunjukkan oleh karyawan Gen Z dan milenial, di mana mereka juga mempertimbangkan aspek keseimbangan hidup dalam memilih pekerjaan.
Generasi ini juga sangat memperhatikan kesehatan mental mereka.
Coba buka opsi jam kerja fleksibel, WFH, atau kebijakan cuti yang ramah mental health.
Terkadang, cara paling sederhana untuk meningkatkan engagement adalah… dengan membiarkan karyawan bernapas sejenak dari pekerjaan mereka.

4) Berikan Fasilitas Pelatihan, Mentoring, dan Jalur Karier
Karyawan yang tahu ke mana arah kariernya, cenderung lebih bertahan dan bersemangat.
Mulai dari pelatihan rutin, mentoring, hingga kesempatan promosi—semua ini menunjukkan bahwa perusahaan peduli pada masa depan mereka.
5) Manfaat Media Komunikasi Untuk Meningkatkan Kolaborasi
Apakah karyawan bisa bicara jujur tanpa takut dihakimi?
Jika tidak, mungkin sudah waktunya membangun kembali sistem komunikasi yang lebih inklusif dan suportif.
Mulai latih manajer ataupun leader supaya lebih human centered.
Seringkali, hubungan terdekat karyawan adalah dengan manajer langsung.
Bekali para pemimpin tim dengan empati, keterampilan coaching, dan kemampuan membaca dinamika tim secara personal.
7) Manfaatkan Data untuk Mendeteksi Tanda-Tanda Awal Quiet Quitting
Terkadang, tanda-tanda dis-engagement sudah muncul sebelum HR menyadarinya. Bagaimana cara melihatnya lebih awal?
Salah satu cara adalah dengan melihat pola absensi dan keterlibatan harian karyawan.
Misalnya, apakah ada karyawan yang mulai sering terlambat, cuti mendadak, atau menunjukkan pola kehadiran yang tidak konsisten?
Aplikasi absensi seperti Kerjoo bisa membantu HR dalam mendeteksi tren ini lebih awal.
Dengan dashboard data yang real-time, HR bisa menganalisis apakah ada pola dis-engagement yang perlu diperhatikan sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar.
Kesimpulan
Quiet quitting bukan soal karyawan malas atau tidak loyal. Ini adalah refleksi dari ekosistem kerja yang mungkin kurang sehat atau tidak memberi ruang berkembang.
Tanda quit quitting memang sulit dikenali, tapi bukan tidak bisa sama sekali.
HR dan manajemen harus melihat ini sebagai alarm peringatan untuk evaluasi lanjutan terkait budaya perusahaan.
Sebelum produktivitas benar-benar menurun, dan sebelum tim kehilangan semangat kebersamaan, sudah saatnya perusahaan bergerak.
Karena mempertahankan keterlibatan karyawan bukan sekadar soal bonus atau THR, tapi tentang membangun kultur kerja yang berkelanjutan dan bermakna.
Gunakan aplikasi absensi online Kerjoo untuk mendukung produktivitas tim Anda.
Selain manajemen kehadiran, Kerjoo memiliki dilengkapi HRIS yang dapat membantu kinerja HR dalam mengelola karyawan.
Karyawan juga dapat melakukan employee self service sehingga dapat membantu HR mengelola perizinan, cuti, dan klaim. Dapatkan uji coba gratis selama 14 hari, di sini!

Aplikasi Absensi Online
Gratis Trial 14 Hari